Skip to main content

Highlight

Lebih Sakit Meninggalkan atau Ditinggalkan?

Backpacker Bagian 4: Dari Singapura ke Malaysia Naik Bus

Marina Bay Sands


Dalam hidup ini banyak orang yang berlomba dengan dirinya sendiri, tak sedikit juga yang berlomba dengan orang lain. Untuk itulah seseorang bergerak untuk melakukan perjalanan-perjalanan. Mulai dari perjalanan mengejar kesuksesan, perjalanan mengejar cinta, dan perjalanan ke berbagai tempat yang ada di dunia.

Kemudian dalam perjalanan itu, akan ada satu titik di mana manusia merasa sudah melakukan perjalanan terjauhnya, entah perjalanan fisik maupun spiritual.

Bagi saya pribadi di tahun 2019, perjalanan dari Singapura ke Malaysia adalah perjalanan terjauh bahkan dari sisi spiritual.

Ya karena nggak pernah kebayang aja gitu bakal liburan sejauh ini.

Kalau ada satu hal yang terjadi dalam perjalanan lima jam dari Singapura ke Malaysia, tentu saja adalah sebuah perasaan bersyukur. Saya juga nggak pernah nyangka momen itu membuat saya jadi lebih menyadari betapa luasnya ciptaan Allah yang mungkin tidak akan terjamah semuanya oleh saya sebagai manusia.

Mellow abis ya ini kalimat pembukanya?

Iya, memang. Soalnya secara emosional udah mulai naik turun setelah hampir satu bulan #DiRumahAja, naik motor paling jauh cuma ke kantor itu pun satu minggu sekali. Padahal empat bulan lalu setelah kembali ke Indonesia, saya berjanji berlomba dengan diri sendiri, lebih rajin cari uang dan menabung, supaya lebih banyak berjalan buat melihat semesta yang diciptakan Allah, semampu saya selama dikasih kesempatan.

Tapi kemudian ada sesuatu yang nggak pernah terbayangkan akan terjadi: Pandemi.

Kita semua sebagai manusia akhirnya memelankan langkah bahkan nyaris berhenti. Menyisihkan ego dan segala keinginan. Padahal nggak ada yang mau hidupnya berhenti, karena ya tadi, hidup adalah perlombaan.

Tapi sebenarnya, perjalanan kita bisa jadi nggak benar-benar berhenti. Dengan #DiRumahAja, kita jadi lebih banyak waktu buat diri sendiri, keluarga, dan teman-teman yang selama ini kita abaikan. Dengan #DiRumahAja, kita melakukan perjalanan terjauh dengan diri sendiri: Merenung, intropeksi, atau melakukan hal-hal yang udah lama nggak dilakukan karena terlalu sibuk di luar sana.

Salah satunya nulis blog kaya gini. Melanjutkan tulisan Backpacker Singapura ke Malaysia yang jalannya ruwet banget karena saya, Gales, dan Sherly tetep bingung meski sudah mempelajari rute berbulan-bulan sebelumnya.

Urutannya dari Singapura ke Malaysia: naik bus dari stasiun MRT Woodland ke Woodland Checkpoint (Imigrasi Singapura) - Imigrasi Malaysia - Terminal Larkin - Terminal Bersepadu Selatan (TBS bukan BTS).

Ya tapi kan teori beda sama praktik.

Perjalanan Singapura ke Malaysia kami dimulai dari MRT Woodland. Momen akan meninggalkan Singapura saat itu, kami dikejutkan karena sisa uang yang masih banyak.

"Eh eh Bentar coy... Duit Singapura kita masih banyak nih... Habisin dulu," Kata Gales menghentikan langkah.

APA?!!?!!?!?! Saya sama Sherly langsung nyengir lebar banget, mau borong jajan!

Ya men, kami udah mau keluar ke Malaysia tapi uang masih banyak! Ya belanja jajan dong buat bekal!!!!



Baca dulu:

Akhirnya kami masuk ke minimarket belanja perbekalan buat perjalanan. Saya sama Gales ambil onigiri, sementara Sherly menolak karena masih kenyang. Lalu kami lanjut beli roti yang aromanya emang manggil-manggil banget. Setelah minum, jajan, makanan, kopi, sudah masuk plastik besar, kami lanjut bertanya ke petugas di loket.

"Kalau mau ke Malaysia naik bus jurusan berapa ya?"

"Nine, five, zero."

Kami langung keluar MRT sementara mulut saya masih komat-kamit mengucap nine five zero. Saya tuh udah capek banget buat mikir, apalagi beberapa hari kan udah ngomong dan mendengarkan Bahasa Inggris. Saking tidak terbiasanya, saya sampai nggak bisa mikir nine five zero itu berapa. Makanya saya inget-inget dulu nanti kalau udah pengen mikir baru saya translate.

KESEL NGGAK SIH WKWKWKWKWKWK.

Kami menunggu bus nine five zero di halte yang akhirnya saya translate waktu Gales lupa nomor busnya. Nunggu bus jurusan 950 agak lama, padahal bus lainnya udah lewat-lewat.


Untuk naik bus ini, masih pakai kartu Easy Link yang buat MRT. Ternyata seperti bus-bus di Jogja atau Jakarta, busnya penuh dan nyaris sesak. Tapi untungnya busnya enak dan nggak bikin saya mabuk darat. Saya cuma bisa melihat sisi lain Singapura yang udah di bagian pinggir ini. Sama rapinya, sama bersihnya. Tentu aja saya jadi sedih karena akan meninggalkan Singapura dan belum tau lagi kapan baliknya.

Perjalanan itu nggak lama, tiba-tiba bus berhenti dulu di suatu tempat yang kaya terminal atau tempat transit. Bingung banget awalnya tuh, kenapa turun, ini di mana, harus ke mana. Tapi ingat, balik lagi ke awal, petunjuk di Singapura luar biasa jelas. Sebenarnya pas liat papan petunjuk udah paham harus menunggu bus di zona berapa, tapi karena takut salah ya tentunya harus tetap bertanya.

Namanya juga bingung, nanya aja pakai drama karena petugas di loket nggak paham-paham juga maksud saya dan temen-temen. Untungnya ada salah satu pekerja yang tiba-tiba nyamber dan bersemangat ngasih tau kami harus nunggu di zona mana. Ternyata bener kan sesuai petunjuk di papan yang saya baca. I love you full, Singapore!




Tapi nih, sebenernya pemberhentian itu misteri buat saya dan temen-temen. Sebenernya kami ada di mana? Kenapa berhenti dan menunggu bus dengan nomor yang sama?

Akhirnya Gales maksa saya nanya sama sebelah pas kami lagi berdiri antre. Soalnya kami udah lama nunggu tapi busnya nggak dateng-dateng juga. Ya udah biar Gales nggak resah saya akhirnya memulai percakapan dengan sebelah, sambil berharap mbaknya bisa Bahasa Indonesia.

"Sorry, can you speak Indonesia?"

"No."

WADUUUUH MAAAAK.

Ya udah dengan sisa-sisa kecerdasan saya tanya mbaknya mau ke mana yang ternyata mau ke Johor Baru. Saya bilang aja mau ke Kuala Lumpur dan saat ini saya ada di jalur yang tepat atau nggak. Pas mbaknya mengiyakan, saya udah nggak tanya lagi. Jawaban itu cukup buat saya, padahal sebenernya saya udah lelah aja sih kalau diperpanjang conversation-nya. WKWKWKKWKWKWKW.

Setelah menunggu sekitar kurang lebih 45 menit, bus dengan nomor yang tadi kami naikin dateng. Ini lebih penuh lagi monmaap ya, dan posisinya Gales udah nggak enak badan dan menyerahkan semua rute ini ke saya dan Sherly.

Duh, biasanya Gales kan duet berpikir saya. Kalau dia loyo ya saya kan ikut bingung. Mau nggak mau saya langsung googling rute bus. Kalau menurut rute bus sih tempat kami transit namanya  Woodlands Temporary Interchange. Nah buat ke Woodland Checkpoint, saya terus memantau halte-halte pemberhentian sepanjang jalan sesuai Google, duet maut sama Sherly. Saya udah panik dan bingung karena busnya penuh banget, ada beberapa orang yang berdiri, takut nama haltenya di luar sana nggak keliatan.

"Sher, liatin itu halte busnya namanya apa?"

"La piye (Gimana)"

"Ini kita harus lewatin beberapa halte. Takut kelewat."

"Lah itu lho ada tulisannya di depan."

"Hah???"

WKWKKWKWKW makanya jangan panik dulu! Sia-sia sampai melotot-melotot liatin halte di luar sana, taunya di deket kaca depan ada tulisannya berhenti di halte mana aja.

Lagian saya kan lagi di negara maju, masa iya kan busnya nggak ada tulisan lagi berhenti di halte mana. Kesel sama diri sendiri pokoknya jadinya. WKAKAKAKKAKA.


Begitu bus berhenti di Woodland Checkpoint, semua orang turun, jalan buru-buru. Saya, Sherly, dan Gales juga ikut jalan dalam bingung. Gini lho, selama ini kami kalau bingung kan speed melambat, terus diem dulu, duduk, mikir. Tapi pas di situ, kaya nggak ada kesempatan buat mikir. Akhirnya kami ikutin langkah kaki orang-orang dan memasuki imigrasi.

K A G E T

Kaget banget!

Imigrasi super crowded. Penuh, semua orang jalan cepet, semua orang terlihat terburu-buru, nggak ada cela buat bingung. Imigrasi di Woodland Checkpoint udah otomatis, jadi mandiri nih scan paspor dan sidik jarinya.

Di antara banyaknya orang yang antre dan saya nggak pernah pakai alat otomatis itu, deg-degan parah sih. Bahkan saking semua cepet, saya nggak sempet mengamati detail cara scan paspornya. Bener aja, pas giliran saya, paspor gagal di-scan. Udah coba beberapa kali gagal, ditambah beban tatapan orang-orang di belakang yang juga buru-buru dan ada satu orang teriak mengeluh karena saya lama banget, akhirnya saya mundur. Sementara Gales dan Sherly berhasil lolos.

Saya mundur ke belakang dan melihat sekeliling, sejauh mata memandang yang saya liat cuma orang yang tergesa-gesa langkah kakinya. Nggak mungkin saya stop mereka untuk bertanya. Di momen itu satu-satunya yang saya pikirin adalah, "Jangan panik Ga, jangan panik!". Nggak pikir panjang saya langsung ke bagian keamanan yang pas masuk sempet saya liat di deket pintu. Setidaknya saya harus berlindung.

Keselnya, saya tuh pakai sok baik pakai bawain koper Gales karena liat dia tadi busy banget keluarin paspor. Jadi sambil jalan cepet dan geret koper, saya ke bagian keamanan dan langsung lega banget. Soalnya pas saya ke sana, pihak keamanannya ramah banget langsung senyum. Pas saya tanya soal paspor yang nggak ke-detect otomatis, saya langsung diarahin ke loket manualnya di ujung.

Alhamdulillah Ya Allah.

Akhirnya saya bisa keluar dengan scan paspor manual sama petugas, walau tangan udah gemetar. Soalnya, paketan data kami kan tethering dan udah nggak nyaut saat itu. Saya nggak bisa hubungin siapa-siapa.

Begitu melihat Gales dan Sherly menunggu di pintu keluar, saya tersenyum sok tabah padahal tadi kan panik banget ya. WKWKWKWKWK.

Pas kami kumpul, eh langsung bingung lagi. Kami sih langsung turun karena ngikutin orang-orang. Tapi sebelum melangkah jauh, Gales langsung stop saya sama Sherly. Menurut blog yang dia baca, kalau mau naik kereta tuh ke lantai atas.

"Ke atas gimana caranya?," tanya saya yang emang nggak liat jalan ke atas.

"Tadi tuh di sebelah pintu keluar ada lift," jawab Gales yakin.

"OH YAAA? GAS!!!"

Jadi sebenarnya kami udah sempet pesen tiket kereta, udah bayar, tapi ternyata pesanan gagal. Akhirnya kami memutuskan untuk coba on the spot atau kalau nggak dapet tiket kereta ya naik bus aja.

"Mau ke mana? Jalannya lurus," kata seorang wanita yang lagi duduk di tangga.

Kami bilang mau ke Malaysia, dia bilang harus naik bus. Nggak ada kendaraan lain.

Kami bingung lagi, tapi nurut-nurut aja terus balik badan.

"Emang iya?"

"Apa udah nggak bisa naik kereta makanya pesanan kita kemarin gagal?"

Sambil terus jalan, kami masih bertanya-tanya. Akhirnya ketemu kerumunan orang banyak banget yang tersebar di beberapa jalur.

"Loketnya mana, Guys?"

Diem.

Melongo.

Bingung.

Harus ada yang tanya di antara banyaknya kerumunan. Gales pun turun tangan sama petugas yang pakai seragam.

EH DIA DISEMPROT GARA-GARA PAKAI BAHASA INGGRIS WKWKWKWK.

"Kita tinggal ikut antre aja," kata Gales.

"Ngantre di mana?," tanya saya balik, karena emang ada beberapa antrean.

Dengan nekat kami nanya sama seorang ibu-ibu, dan dia bilang antri di belakang dia aja. Agak sedikit lega nih. Oke. Antre....

Pas udah sampai depan alias tempat nunggu busnya, kebetulan ada petugas yang bisa ditanya-tanyain. Dia bilang, kami ada di antrean yang busnya seharga sekitar 1 ringgit, sementara antrian sebelah bus seharga 3 ringgit. Kami langsung mengubah haluan dan minta pindah bus sebelah. Monmaap bukannya sok Nia Ramadhani, tapi kami capek dan lebih menginginkan kenyamanan.

Setelah kami diperbolehkan bergeser, eh ketemu petugas yang tadi nyemprot Gales. Kena semprot lagi. WKWKWKWKWK. Kayanya nggak boleh gitu tiba-tiba geser ke situ.

Akhirnya kami geser balik lagi ke antrean semula. Cobaan, cobaan.

Nah, petugas yang tadi bisa ditanyain bilang kalau kami harus pakai uang pas buat naik.Tapi kami kan nggak punya. Pas bus dateng, Gales masuk lewat depan dan kata petugasnya saya sama Sherly lewat belakang aja biar dapet tempat. Tiba-tiba Gales mau keluar pas saya sama Sherly udah duduk di dalam bus. Kami kan bingung. Terus tiba-tiba Gales masuk lagi dan ikut duduk.

"Tadi kita sempat ditolak karena nggak pakai uang pas. Untuk bapak petugas yang tadi bantuin bilang dan nggak usah pake kembalian. Yaudah nggak apa-apa dua ringgit aja kita ikhlasin," terang Gales.

Jadi Guys, bayarnya tuh emang dimasukin di kotak sebelah supir makanya harus uang pas. Jadi kalau mau ke Malaysia pastikan punya uang pas ya!

Bus pun melaju ke imigrasi Malaysia. Sepanjang perjalanan itu, saya duduk terpisah dari Gales dan Sherly, di sebelah ibu-ibu. Mungkin ibunya liat wajah bingung dan lelah saya kali ya, dia akhirnya ngajak saya ngobrol mau ke mana dan kasih arahan. Tapi nih, arahannya pakai Bahasa Melayu, yang saya paham nggak paham...

"Mau ke mana?"

"Ke Kuala Lumpur, bu. Ibu mau ke mana?"

"Saya ke Johor Baru."

Belum ada percakapan lagi. Bus melewati Jembatan Johor Causeway yang sisi kirinya menampilkan pemandangan air yang begitu luas.

"Ini kita di perbatasan."

"Ooohh..."

"Nanti kita turun di imigrasi, habis itu naik bus yang sama lagi, tiketnya jangan hilang ya."

Saya langsung nengok Gales di sisi kanan bagian belakang.

"GAL! TIKET JANGAN ILANG! NANTI DIPAKAI LAGI HABIS DARI IMIGRASI!"

"OKE!!"

Setelah saya selesai nengok, ibunya lanjut kasih arahan.

"Nanti kita semua turun di imigrasi. Nah, habis itu kamu jangan pusing. Kamu keluar, turun tangga naik bus ini lagi," kata ibunya menjelaskan. Saya pun mengangguk masih mencerna dan membayangkan penjelasan ibunya.

Tapi, ibunya kayanya ragu-ragu saya udah paham. Akhirnya ibunya menjelaskan sekali lagi, kali ini pakai gerakan tangan.

"Nanti kalau udah keluar imigrasi Malaysia, kamu jangan pusing (Tangannya belok ke kiri). Kamu lurus turun tangga (Tangannya lurus terus menukik ke bawah). Kalau saya mau ke Johor Baru, nah saya pusing (Tangannya belok kiri lagi)," jelasnya sekali lagi.

TEPOK JIDAT!

Jadi pusing itu artinya belok!!!!!!!

Bus akhirnya berhenti di imigrasi. Sepanjang jalan saya udah bilang sama Gales dan Sherly kalau misal scan paspornya otomatis lagi dan saya gagal, tolong jangan nungguin kejauhan biar paket data nggak lenyap.

Kami udah melangkah semangat bersiap menghadapi scan paspor berikutnya, kemudian....

"MANUAL GUYS!!!"

Hehehe saya lega. Meski Gales sempat bingung nyari formulir kedatangan pas tiba di Changi, akhirnya kami tiba di Malaysia. Yeay!

Eits, jangan senang dulu! Begitu keluar imigrasi, kami jalan keluar dan mulai bingung. Beneran ada dua jalan. Belok kiri tulisannya ke Johor Baru, lurus tanpa petunjuk.

"Belok kiri apa lurus?," tanya Gales membuka kebingungan.

"Menurut ibunya, kita jangan pusing. Kita lurus, terus turun," kata saya, sambil tangannya ikut gerak seperti aba-aba ibunya tadi.

"Tapi aku baca dari blog, lewat Jb Sentral bukan sih? JB itu Johor Baru kan?"

"Aku juga bacanya gitu Gals, tapi tadi kata ibunya, kita jangan pusing. Kita lurus, terus turun. Kalau ibunya pusing, karena mau ke Johor baru," kata saya lagi, tangannya ikut bergerak mengikuti aba-aba ibunya.

Satu detik...

Dua detik...

Tiga detik...

Masih belum memutuskan.

"Udah terserah deh sekarang, kita mau ngikutin kata hati apa kata ibunya?," celetuk saya, pasrah.

Tiba-tiba tanpa suara, kami bertiga jalan aja keluar sesuai arahan ibunya meski sama-sama nggak yakin.

Melewati pintu keluar, untungnya ada petugas yang bisa ditanyain. Pas kami tunjukkin karcis tiket, petugasnya juga nggak terlalu yakin nunjukkin bus dengan nama yang sama. Tapi karena cuma info dari petugasnya yang menjadi harapan, kami tetap naik bus yang sama cuma beda warna. Sambil berharap nggak ditendang keluar.

Untungnya bener dan akhirnya kami menuju ke Terminal Larkin buat beli tiket bus sampai ke Kuala Lumpur. Akhirnya, sedikit lagi.

Terminal Larkin

Terminal Larkin nggak jauh beda sama di Indonesia. Satu hal yang langsung buat kami jetlag banget adalah bahasanya. Kami bener-bener nggak bisa memahami Bahasa Melayu.

Gales akhirnya menyuruh saya membeli tiket bus di loket. Dengan agak roaming sama petugasnya akhirnya berhasil beli tiket yang jam 7 malem. Kata petugasnya sih, perjalanan ke Kuala Lumpur alias Terminal Bersepadu Selatan memakan waktu 5 - 6 jam. Oh iya, harga tiketnya sekitar Rp90.000 per orang.

Meski kami sudah ready sejak jam 7 malam, tapi ternyata busnya belum siap. Saya jadi menarik napas dan merasa sedang ada di negara sendiri gitu. You know what i mean, kan?

Masalahnya, kami bener-bener nggak bisa memahami pengumuman yang terdengar lewat speaker. Meski sudah mencoba fokus setengah mati, kami tetap nggak ngerti artinya. Saat itulah jurus malu bertanya sesat di jalan harus dikeluarkan. Ada kayanya sampai tiga kali kami secara bergantian tanya ke petugas, bus yang akan kami naiki sudah mau berangkat atau belum.


Barulah setelah menunggu sekitar satu jam kami dipersilakan keluar dari ruang tunggu Terminal Larkin menuju bus. Satu, busnya enak. Formasi duduknya dua di sisi kanan dan satu di sisi kiri. Gales dan Sherly duduk bareng, saya duduk sendirian di sisi kiri.

AKHIRNYA!! AKHIRNYA PERJALANAN PANJANG YANG DIKIT-DIKIT BINGUNG INI BERAKHIR. AKHIRNYA SATU PERJALANAN LAGI SAMPAI MALAYSIA.

Dan yang paling ditunggu-tunggu adalah duduk tanpa rasa bingung dan makan. Soalnya kami sudah lapar banget, mau makan jajan yang sudah ditenteng sejak dari Singapura.

Begitu saya dan Gales baru aja mau melahap onigiri, Sherly tiba-tiba ngegas.

"LHO KALIAN KOK PUNYA ONIGIRI?!?!?!"

"Lah tadi kan kita beli di Woodland. Kamu ditawarin nggak mau."

"YA TADI AKU MASIH KENYANG. KIRAIN ONIGIRINYA BUAT TADI SIANG."

Saya sama Gales auto ketawa tapi nggak mau bagi onigiri yang dipegang. Setelah melihat Sherly wajahnya cemberut akhirnya kami bersedia membagi, tapi keburu ditolak.

"UDAH, UDAH AKU MAKAN ROTI AJA!"

Ternyata kami egois juga untuk urusan makanan, apalagi terakhir makan siang tadi di Little India. Sungguh manusiawi.

Mesin bus akhirnya menyala. Malam itu bus lengang, tak begitu banyak orang yang menuju Terminal Bersepadu Selatan di Kuala Lumpur.

"Bismillah..."

Setelah melewati MRT Woodland, Woodland Checkpoint, Bangunan Sultan Iskandar (Imigrasi Malaysia), hingga Terminal Larkin, akhirnya tinggal menuju ke Terminal Bersepadu Selatan. Dari situ, kita bisa langsung naik kendaraan umum menuju hotel. Malam itu, kami benar-benar akan menghabiskan waktu lima jam di bus untuk akhirnya sampai di Malaysia.

Tapi kemudian... Beberapa hal terjadi.

- BERSAMBUNG -

Backpacker Singapura Malaysia Bagian 5: Dari Terminal Bersepadu Selatan ke KL Sentral

Comments