Skip to main content

Highlight

Lebih Sakit Meninggalkan atau Ditinggalkan?

Pendakian Pertama: Merbabu Jalur Selo



Tidak pernah diduga pendakian pertama saya adalah ke Gunung Merbabu. Tidak disangka pendakian pertama saya adalah bersama orang-orang asing yang belum pernah ditemui. Saya tidak pernah mengira, malam itu akan melihat bulan bersama teman-teman baru.

Setelah berdoa bersama, rombongan yang terdiri dari delapan laki-laki dan dua perempuan meninggalkan basecamp memulai sebuah perjalanan. Jumat itu tepat selepas maghrib, kami menerobos malam dengan menggunakan cahaya dari senter. Kami berjalan dengan hati-hati karena jalanan yang sempit, jurang di sisi kanan dan adanya batu maupun batang pohon yang menghalangi jalan.

Jalanan dari basecamp menuju pos 1 masih terbilang landai. Energi saya masih cukup jika berjalan dengan medan yang tidak terlalu tinggi. Pemandangan juga belum terlihat, karena kami berada di tengah hutan. Jarak tempuh menuju pos 1 sebenarnya tidak begitu lama, tetapi kami cukup banyak beristirahat. Ketika tiba di pos 1, barulah kami berhenti  cukup lama sebelum melanjutkan perjalanan ke pos 2.

Menuju pos 2, jalanan sudah mulai terjal. Tanjakan sudah mulai tinggi dan membuat energi saya terkuras. Bahkan setelah pos bayangan 2, jalanan terus menanjak. Mau tidak mau, kami memakan waktu istirahat cukup panjang. Berjalan sebentar lalu istirahat. Berjalan lagi, istirahat lagi. Waktu kami habis banyak menuju pos 2.

Cause you're a sky, 
cause you're a sky full of stars 
I'm gonna give you my heart 
Cause you're a sky, cause you're a sky full of stars 
Cause you light up the path
(Coldplay - A Sky Full Of Stars) 

Karena sudah sangat malam, kami memutuskan untuk mendirikan tenda di pos 3 atau disebut pos Watu Tulis. Perjalanan dari pos 2 menuju pos 3 lebih tidak main-main. Dari perjalanan sebelumnya, saya merasa perjalanan menuju pos 3 paling melelahkan. Bukit di atas sudah terlihat sangat indah dan seolah-olah terus-menerus memanggil. “Sedikit lagi!”. Teriakan semangat dari teman-teman yang memberi harapan bahwa sebentar lagi kami akan sampai dan segera mendirikan tenda membuat saya terus berjalan. Tetapi semua hanya harapan belaka. Perjalanan terasa sangat lama ketika menuju pos 3. Mungkin karena lelah, mungkin karena ingin segera sampai.

“Hidup itu seperti Gunung, selalu lebih jauh, lebih tinggi dan lebih berat medannya daripada yang terlihat,” – Hendri Agustin.


Begitu sampai di pos 3 atau pos Watu Tulis, saya langsung menjatuhkan diri menghadap bulan. Pos 3 luas, bisa untuk mendirikan cukup banyak tenda. Saat kami datang, baru ada dua atau tiga tenda yang berdiri di sana. Teman-teman langsung sibuk mencari tempat yang pas untuk mendirikan tenda. Saya mengamati mereka yang ternyata sudah sangat jauh dari tempat saya berbaring. Akhirnya, saya menyeret kaki menuju mereka, membantu mendirikan tenda dengan energi seadanya.

Saat tenda perempuan berdiri, tanpa pikir panjang saya langsung masuk, membuka tas untuk mengeluarkan sleeping bag dan matras. Lalu saya menjatuhkan diri, tertidur. Tidak mempedulikan tenda laki-laki yang masih didirikan karena tenaga saya habis. Tidur saya tidak nyenyak. Tengah malam hujan angin. Tetapi saya tidak punya tenaga untuk sekadar panik atau berdoa.

Sabtu pagi, Watu Tulis berkabut.


Pos Watu Tulis


Naik turun beberapa bukit seperti ini.







Gimana nggak jatuh cinta kalau pemandangannya kaya gini?

Sekitar pukul 07.00 hari Sabtu, kabut mengelilingi Pos Watu Tulis. Tenda-tenda lain sudah banyak yang berdiri. Kami melanjutkan perjalanan menuju puncak. Barang-barang kami tinggalkan di tenda. Saya pikir medan di menuju pos 3 adalah yang terberat. Ternyata, untuk menuju Sabana 1 dan Sabana 2 adalah medan yang terparah tingkat kesulitannya. Kami harus naik turun beberapa bukit untuk sampai di puncak. Sekitar pukul 11.00, kami sampai di Puncak Kentheng Songo. Ketika menginjakkan kaki di puncak, lantas saya dan teman-teman berbaring. Tenaga saya benar-benar habis.



Perjalanan naik.

Sebelum turun, saya mengelilingi puncak. Ketika sudah sampai di atas dan melihat pemandangan, ternyata rasa lelah saya terhapus oleh rasa puas. Puas sudah berhasil sampai puncak, puas dengan semangat dan hasil kerja sepanjang perjalanan.

Setelah berfoto, kami segera turun. Ternyata jalan menurun lebih sulit dari pada naik. Keuntungannya, jalan yang menurun membuat tenaga tidak terlalu cepat habis dan waktu tempuh kami dari puncak sampai tenda hanya berkisar dua jam. Begitu sampai di tenda, kami makan dengan persediaan makanan seadanya, menata tenda dan barang-barang, lalu turun lewat jalur lain. Jalur ini benar-benar di tengah hutan, jalannya masih dipenuhi semak-semak namun lebih cepat. Sekitar pukul 17.00 kami sudah sampai di pos 1 dan menjelang Maghrib melanjutkan perjalanan ke basecamp. Sepertinya sih efek jalan maghrib, nggak tahu kenapa jalan dari pos 1 ke basecamp terasa lama. Akhirnya sekitar pukul 18.30 kami sudah sampai di basecamp. Tidak ada jalan kaki lagi, saya sudah tidak kuat.



Perjalanan pulang.

Kami kembali menuju Jogja sekitar pukul 19.00, dan saat dalam perjalanan pulang ada-ada saja halangan rintangannya. Halangan rintangan yang kalau diinget-inget lucu sih, sebenarnya. Saya sampai di kos-kosan sekitar pukul 00.00, langsung mandi dan baru terasa kalau badan sakit semua.

Team Merbabu


Mendaki sebenarnya adalah tentang kebersamaan. Beruntung, saya pergi dengan teman-teman yang tidak meremehkan walau mereka memiliki energi lebih banyak dan kekuatan lebih besar dari saya. Ucapan terima kasih untuk teman-teman baru, karena sudah sabar dan tidak mengeluhkan saya yang baru pertama kali mendaki. Saya tidak akan sampai di puncak jika tidak bersama teman-teman yang baik.





















"Tidak ada yang namanya orang asing.
Yang ada hanya teman baru yang belum kau temui."

Merbabu,
16-17 Mei 2014

Comments