Skip to main content

Highlight

Lebih Sakit Meninggalkan atau Ditinggalkan?

Perjalanan ke Bromo

Saya memakai jumper dan mengaitkan kedua telapak tangan, berusaha menolak angin yang berembus kencang sesampainya di Pananjakan Bromo. Itu saya bersama empat orang teman, jam setengah empat pagi sudah sampai di atas bersiap menikmati matahari terbit. 
Terperangah, karena tidak hanya saya dan beberapa orang yang menanti matahari terbit, Tetapi ada begitu banyak orang yang memenuhi tempat itu. Kami akhirnya mencari sembarang tempat duduk, saling mendekatkan tubuh agar merasa lebih hangat. Kabarnya, suhu saat itu tiga derajat celcius.
Pananjakan Bromo, 6 Juli 2013.
5 Juli 2013 saya bersama empat teman menuju Bromo dari Kota Tulungagung yang jarak tempuhnya kurang lebih 8 jam. Sekitar pukul 16.00 kami sudah mendapati jalanan berliku dan terus menanjak beserta udara dingin yang tiba-tiba menyerang. Mata saya terus terjaga sepanjang perjalanan, antara menikmati pemandangan dan mencari tempat penginapan yang murah. Setelah bersusah payah melakukan nego, kami mendapat penginapan dengan harga yang lumayan. Rp. 240.000 dengan dua kamar, ruang tv, dan kamar mandi.

Ruang TV di penginapan.
Dari kiri: Ikhwan, Faisal, Elga, Amel.

Malam hari kami keluar untuk jalan-jalan sekaligus mencari makan malam. Sejak saat itu, saya langsung jatuh cinta pada bintang-bintang di Bromo. Malam itu dingin belum begitu menusuk, tetapi satu mangkuk bakso ternyata tak terasa hangat. Banyak anak-anak desa sekitar yang bermain di sepanjang jalan tanpa pakaian hangat di saat seluruh tubuh saya sudah terbalut kain. Setelah puas mengelilingi perumahan di sekitar Bromo, kami memutuskan kembali ke penginapan sebelum dingin semakin menyelimuti.


Tenda makan di sekitar penginapan.

Dari kiri: Pak supir, Ikhwan, Amel, Elga, Faisal.

Ruang TV di penginapan kami hangat. Mungkin karena suasananya, mungkin karena acara OVJ malam itu sangat mengocok perut, atau mungkin karena saya dan teman-teman sibuk bercerita. Namun mengingat jeep akan menjemput jam tiga pagi, saya memutuskan masuk ke kamar dan mencoba tertidur sementara teman laki-laki  tidur di sofa.

Malam itu dingin. Seperti biasa, saya tidak bisa tidur cepat. Dan saat waktu menunjukkan pukul 00.00, rasa dingin mulai menyerang. Saya memakai dua lapis pakaian tebal dan panjang, kaus kaki dan sarung tangan tetapi tetap kalah oleh rasa dingin. Susah payah saya menyelimuti tubuh dengan mukena lalu sedikit menyelimuti diri, tetap saja rasa dingin menguasai. Jam 2 pagi saya sudah terbangun lagi, dan bersiap-siap untuk memulai perjalanan.

Saya menyeruput kopi kotak yang saya beli sebelum perjalanan. Entah untuk apa: menghilangkan kantuk atau mengusir dingin, saya tidak tau. Jeep menjemput dan kami berlima naik, memulai perjalanan menuju pananjakan bromo.

Ada banyak jeep yang sudah beroperasi pagi itu. Katanya, ada sekitar 400 jeep di Bromo. Jalan menuju pananjakan tidak kalah menyeramkan. Gelap dan berliku. Sekitar 30 menit kami sampai dan masih harus berjalan lagi menuju pananjakan. Agak susah dengan keadaan gelap, belum lagi angin menyapa cukup kencang. Sementara orang lain sibuk berfoto di tengah kegelapan, saya dan teman-teman hanya duduk, berusaha menghangatkan diri. Hampir dua jam penantian dan ketika seluruh orang berdiri melihat warna langit yang sudah mulai berubah, kami turut berlari mendekat mencari posisi yang tepat. Saya tidak bohong kalau bintang-bintang di Bromo sangat cantik, langit paginya sangat mempesona dan membiru, serta matahari terbitnya begitu tidak biasa.



Menjelang matahari terbit.


Matahari pagi di Bromo.

Setelah matahari benar-benar terbit kami memutuskan turun karena sudah tidak kuat dingin. Jeep melanjutkan perjalanan menuju kawah Bromo. Lagi-lagi perjalanannya berliku namun kali ini menurun. Hamparan padang pasir sudah mulai terlihat dan keindahan Bromo mulai terpancar. Hal pertama yang kami cari saat sampai adalah sarapan. Di sana ada banyak penjual makanan mulai dari bakso atau nasi goreng. Setelah sarapan kami memutuskan naik menuju kawah Bromo. Bisa menyewa kuda dengan harga Rp. 100.000 (Informasi dari Pak Supir jeep) namun alangkah lebih puas jika berhasil naik dengan berjalan kaki. Saya harus memaksa teman-teman berhenti berkali-kali saat jalanan tanjakan dan menaiki ratusan anak tangga. Cukup sulit karena jalanan yang begitu berdebu dengan kuda yang berlalu-lalang.

Jalan menuju puncak Bromo.


Dari atas puncak Bromo.

Hamparan pasir dari kawah gunung Bromo.


Kawah gunung Bromo.

Perjalanan kali ini menyenangkan. Mungkin karena saya pergi dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur dan melihat banyak hal baru. Belum lagi tiga teman baru yang saya temui dan langsung menjadi teman perjalanan saya selama kurang lebih 34 jam.


"Tak ada yang namanya orang asing, yang ada hanyalah teman baru yang belum kamu temui"

Comments