Skip to main content

Highlight

Lebih Sakit Meninggalkan atau Ditinggalkan?

Pelajaran dari Mendaki


I'll spread my wings and i'll learn how to fly..I'll do what it takes till i touch the sky..I'll make a wish,Take a chanceMake a change,And breakaway..(Kelly Clarkson - Breakaway)


Mendaki, sebenarnya bukan hanya perkara naik menuju puncak. Menurut saya, mendaki adalah sebuah proses untuk melihat banyak hal sepanjang jalan menuju puncak. Sebuah cara untuk mengenal diri lebih dalam lagi.

Siapa yang menyangka saya bisa menggendong carrier 60 liter selama berjam-jam dengan medan jalan yang sulit? Membawa ember cucian saja kadang-kadang saya kesusahan. Sebelum mendaki, saya tidak pernah pemanasan dan sama sekali tidak ada bayangan akan kuat atau tidak menggendong carrier. Tetapi, keinginan untuk mendaki membuat saya mencari-cari alasan bahwa saya bisa mengangkat beban berat. Justru di saat tetap bersikap tenang dan pura-pura bisa, hasilnya saya memang bisa. 


“In the mountains there are only two grades: You can either do it, or you can’t.” – Rusty Baille.

Siapa yang menyangka saya bisa jalan kaki berjam-jam melewati jalan yang menanjak? Jalan kaki dari kos ke kampus saja bisa bikin saya ngos-ngosan ketika sampai di kelas. Kebiasaan kemana-mana naik motor membuat kaki saya manja. Tetapi, hasrat untuk mencoba naik gunung membuat saya berpikiran kalau jalan kaki itu mudah. Dengan tetap bersikap tenang, pura-pura bisa, dan sok kuat, saya ternyata sanggup jalan kaki jauh bahkan hingga puncak. Sayangnya, saya memang tidak terbiasa berjalan sejauh itu. Saya bisa berjalan tetapi saya belum pernah berjalan jauh dalam waktu yang lama. Pada akhirnya, ketika puncak bahkan sudah di depan mata, saya lebih senang beristirahat.

Mendaki membuat saya tahu titik kelemahan diri sendiri. Saya memang penuh semangat jika melakukan sesuatu, tetapi kalau sekali saja beristirahat, biasanya saya akan berhenti lebih lama karena sudah terlalu nyaman berdiam diri. Lantas ketika akan mendekati akhir tujuan, justru saya akan menjadi malas dan memperlambat langkah dengan alasan sudah hampir selesai. Hal ini biasanya terjadi pada saat saya mengerjakan sesuatu, terutama tugas-tugas. Kalau sudah mendekati nomor atau halaman terakhir, saya akan bersantai. Karena bagi saya hanya tinggal sedikit lagi, bisa dikerjakan nanti-nanti. Pada kenyataannya, saya akan kehabisan waktu dan kebakaran jenggot menyelesaikan yang tersisa. Sewaktu mendaki pun, langkah saya melambat hanya karena tahu puncak sudah terlihat.


“There are lot of thing can inspire me on the mountain, that way i keep climbing” - Hendri Agustin

Akhirnya dari mendaki, saya tahu kalau berada di puncak itu menyenangkan. Naik ke puncak memerlukan waktu yang panjang. Sedangkan untuk turun dari puncak, ternyata tidak memerlukan waktu lama.

Saya adalah pengagum langit. Menyenangkan melihat langit di atas dari bawah. Lalu dengan mendaki saya mengerti. Menjadi lebih dekat dengan langit ternyata membuat rasa bahagia meluap-luap. Beradalah di puncak, langit terlihat lebih indah dari atas.



Gunung Merbabu,
3.145 mdpl
16-17 Mei 2014

Comments