Skip to main content

Highlight

Lebih Sakit Meninggalkan atau Ditinggalkan?

Tiga Pantai Pertama




Kala itu mata saya sudah terbuka di saat matahari bahkan belum membuka hari Sabtu. Hari itu adalah waktunya untuk bergerak, melakukan perjalanan. Pantai. Salah satu tempat terbaik untuk memanjakan diri.

Pantai di Gunungkidul adalah pantai-pantai yang terkenal keindahannya di Kota Jogja. Butuh waktu satu tahun mengumpulkan segala rasa keberanian untuk memulai sebuah perjalanan menuju hal-hal baru. Sebenarnya bukan perkara keberanian semata, namun buta arah mengandaskan segalanya. Tapi pada akhirnya hasrat untuk mencari apa yang ingin ditemukan meluap dan menghasilkan suatu perjalanan.

Pagi itu jalanan masih seperti milik sendiri. Sepi, pukul 05.40. Kesempatan untuk memacu motor kencang-kencang sebelum puluhan kendaraan lain turut menggunakan jalan. Hanya bermodalkan petunjuk alakadarnya dari omongan teman, salah jalan adalah biasa. Iya, motor terus melaju melewati ringroad menuju Purworejo dan disitu kesalahan mulai nampak. Bertanya adalah satu-satunya hal yang masuk akal namun nampaknya kurang puas jika masih bisa ditemukan dengan jawabannya sendiri. Dengan segala perkiraan akhirnya putar balik dan memeriksa setiap plang yang ada di perempatan adalah pilihan yang cukup bagus. Benar saja, ada plang dengan tanda panah kekanan bertuliskan Wonosari setelah kembali dan menemui banyak perempatan. Menjebak. Jika berangkat dari arah Janti, tidak akan ditemukan plang ke kiri bertuliskan Wonosari.

Untuk menuju ke pantai di gunung Kidul, pergilah kearah kota Wonosari. Jika menemui jalan berkelok-kelok dan menanjak, itu pertanda jalan sudah benar. Selebihnya ikuti jalan saja. Kata orang, untuk menuju pantai di Gunung Kidul dibutuhkan waktu sekitar 1,5 jam. Dan perjalanan lurus tanpa henti sekitar hampir satu jam membuat sedikit frustasi. Bensin sudah meraung-raung minta diisi dan akhirnya berhenti di Pom Bensin.

"Pak, kalau mau ke pantai Baron lewat mana ya?," Tanya saya pada petugas pom bensin.
"Oh, ini nanti ada perempatan, lurus saja. Sampai ada pertigaan dan ada pos polisi, belok kanan. Setelah itu lurus saja ikuti jalan,"
"Oh iya, makasih ya Pak"
"Iya, hati-hati ya dek. Masih agak jauh, sekitar satu jam lagi," Bapak itu tersenyum ramah.



Benar saja, walau sudah banyak plang-plang bertuliskan pantai Baron bertebaran namun nyatanya tidak sampai juga. Lagi-lagi frustasi menghampiri karena rasanya sudah ingin segera menghempaskan diri diatas pasir karena kelelahan. Tapi segalanya pasti ada ujungnya dan tepat pukul 07.45 suara ombak sudah menyambut.

Pantai pertama adalah Pantai Baron.







Ombak begitu kencang tapi rasa puas membuat senyum terukir. Menjadi pengunjung pertama adalah suatu kebanggaan karena sejauh mata memandang, hanya ada pemandangan alam tanpa ada manusia yang menghalangi. Ketika mulai banyak orang yang berkunjung ke pantai Baron, saatnya menyingkir untuk mengisi perut terlebih dahulu. Nasi goreng adalah pilihan yang tepat pagi itu dan harus diakui rasanya tidak mengecewakan.

Puas menikmati pantai Baron, berlanjut ke pantai Kukup. Pantai yang terlampau bagus untuk dibandingkan dengan pantai Baron. Pasirnya begitu ramah menjamah kulit dan banyak tebing-tebing yang membuat pemandangan menjadi lebih bagus. Pantai kukup sangat menggoda untuk merasakan teriknya matahari sembari bermain pasir.





Rasa lelah jelas menghampiri, terlebih sudah hampir jam 11 siang saat itu. Di Gunung Kidul, disuguhkan banyak pantai sehingga sedikit sulit menentukan pantai mana lagi yang sebaiknya dikunjungi. Target satu pantai lagi membuat semakin kalap, pantai mana yang harus dicandu. Dan pantai Sundak, menjadi pilihan.

Pantai Sundak terkenal bagus, tapi banyaknya kerang-kerang di pasir membuat sedikit tidak nyaman namun tetap tidak mengurangi keindahan pantai. Cuaca yang sebelumnya cerah mendadak menjadi mendung dan hujan datang tanpa permisi. Karena terlanjur asik bermain pasir, hujan-hujanan tak terhindarkan. Hujan perlahan menjadi deras dan air laut semakin pasang. Ombak menjadi sedikit kasar dan beberapa kali menghancurkan pasir yang sudah susah payah dibuat menyelimuti tubuh meski sudah berpindah posisi setiap air pasang.

Kesal, karena hujan memaksa untuk menyelamatkan barang-barang dibawah payung-payung yang ada. Hanya barang-barang, lalu ibu-ibu pemilik payung menghampiri dan meminta Rp 10.000 untuk biaya sewa payung. Merasa baru menggunakan 10 menit dan saat itu memang sudah akan pulang, menawar setengah harga tidaklah salah. Namun Ibu itu menolak.





Lelah, akhirnya pantai Sundak benar-benar menjadi pantai terakhir dikunjungi hari itu. Masih banyak ombak dari pantai-pantai lain yang memanggil tapi sepertinya cuaca tak lagi menyatu. Perjalanan berakhir dalam keadaan basah kuyup dengan rasa puas yang tak henti-henti.

“konon bumi ini milik mereka yang mau berhenti sejenak untuk melihat-lihat lalu meneruskan perjalanan.”  - @takdos.

Comments

Post a Comment

Berikan komentarmu untuk tulisan ini, yuk! Btw kalau mau komen bisa lewat PC ya :)