Skip to main content

Highlight

Lebih Sakit Meninggalkan atau Ditinggalkan?

Perpisahan dan Ketakutan-ketakutan akan Kehilangan


Solo pada suatu malam hujan rintik-rintik, tapi sama sekali nggak mengurangi niat saya dan Claudia untuk makan malam lepas bekerja. Jika biasanya kami makan bareng sama temen-temen lainnya, kali itu kami punya kesempatan ngobrol berdua.

Pembahasan dimulai dari ngomongin orang kaya biasanya (ASTAGHFIRULLAH), ngomongin K-Pop, lalu berujung ngomongin sesuatu yang cukup menye-menye.

Saya dan Claudia malam itu bertanya-tanya. Selama ini, kami punya selera humor yang sama, menyukai klub sepakbola yang sama, dan juga menggemari Korea serta oppa-oppanya. Tapi berbulan-bulan berteman, kami nggak punya ikatan yang sangat dekat layaknya Zaskia Sungkar dan Laudya Cynthia Bella. Alhasil, setelah mengurai semuanya, kami sampai pada sebuah jawaban.

Saya dan Clo sama-sama takut untuk kehilangan. Lagi.

Urusan pertemanan itu harusnya udah kelar zaman SMA atau kuliah. Tapi di tempat saya bekerja, pertemanan itu masih cukup kuat. Kami ber-13 sama-sama masuk di sebuah tim, pada waktu yang sama, dan berjuang bareng-bareng. Nggak bisa dimungkiri ikatan pertemanan itu terus menguat seiring berjalannya waktu selagi kami bekerja sebagai tim. Mulai dari awal mengenal, nggak cocok, saling ngomongin, berantem, sampai di masa sudah saling memaklumi dan menerima.

Hingga pada waktunya, ada yang harus pergi, mengejar impian yang lain.

Saya ingat momen itu terjadi lewat tengah malam, saat saya baru saja menyalakan paket data internet setelah nonton drama Korea. Tiba-tiba udah banyak banget chat yang masuk. Saya kaget dong, apakah di malam hari menuju pagi itu ada sesosok pria yang mengajak saya menikah? Oh ternyata belum, silakan dicoba lagi halunya lain kali. Rupanya itu chat dari Lolita yang memberikan kabar baik. Dia berhasil mendapatkan apa yang dia perjuangkan. Tentu saya senang. Tapi saat itu juga, air mata saya menetes.

COY, LOLITA RESIGN COY!

Harus diakui Lolita adalah satu teman yang paling dekat sejak pelatihan. Bahkan saat wawancara, Lolita jadi orang yang pertama kali saya lihat dan saya tanyai. Berlanjut ketika beberapa hari pelatihan, saat motor saya masih di Jogja. Lolita secara baik hati mau nganterin saya pulang tiap malem. Saat itulah saya tahu dia bisa dijadikan teman. Soalnya waktu itu baru pelatihan, tapi kami udah bisa nyinyir tiap pulang bareng.

Yha... Nggak cuma jodoh aja yang cerminan diri, temen juga.

Lolita dan saya berujung jadi teman satu tim di sosmed. Sejak saat itu, setiap saya nengok kanan, ada Lolita. Setiap saya mau mangap dikit, disemprot Lolita. Setiap saya mesem-mesem dikit, diumpat Lolita. Mana ada orang yang lebih muda tapi selalu teriak-teriak ke saya. Itu Lolita. Jadi waktu dia resign, saya bener-bener sedih.

Lucu sih. Ketika saya jadi satu di antara orang yang mendukung dia, saya juga jadi orang yang nangis pas dia resign. Dan ternyata, saat itu nggak cuma Lolita yang resign. Masih ada Alya, tanpa firasat sama sekali.

Bulan September 2017, kami kehilangan dua orang sekaligus.

Selama ini kami sibuk hahahihi, tapi nggak pernah menyadari kalau masa-masa kaya gitu akan datang. Dan terus datang.


Belum selesai duka soal Lolita, Maya menyusul resign di bulan Oktober 2017 untuk berjuang melanjutkan pendidikan. Tentu momen perpisahan ke-2 udah nggak sesedih Lolita. Toh prosesnya udah cukup panjang, Maya udah melalui berbagai pertimbangan selama beberapa waktu. Saya tahu pada akhirnya dia harus mengejar cita-citanya yang sebenar-benarnya.

Selama ini Maya adalah temen yang bisa dimanfaatkan buat nemenin makan, seneng-seneng, dan segala aktivitas tidak berfaedah lainnya. Tentu saja pertemanan kami bertujuan saling menguntungkan tanpa ada yang mau dirugikan. Meski pertemanan sama Maya gimmick, gimanapun juga dia jadi orang yang sering sama saya.

Persiapan saya menjelang kepergian Maya saat itu cuma membiasakan diri aja. Saya cuma nangis di malam hari usai dia pergi, itupun karena nggak sempat ketemu untuk dadah-dadah kaya Sherina di film 'Petualangan Sherina seperti yang sudah direncanakan.

Kan, perpisahan aja gimmick.



Setelah kepergian Maya, ada perpisahan yang benar-benar mendadak dari Dhika. Dia harus pergi karena lolos tes CPNS. Tentu kepergian Dhika nggak bikin saya nangis karena saya senang banget dengan pencapaian dia.

Meski sedih kehilangan satu orang lagi di Bulan Desember 2017, saya (sok) tahu semua orang bahagia dan bangga untuk Dhika. Karena saya benar-benar sebahagia itu sama apa yang didapatkan Dhika.



Apakah semua kesedihan itu berakhir? Tentu saja tidak.

Januari 2018, Galih, seorang teman dekat saya kembali resign untuk meyusul Maya berjuang melanjutkan pendidikan. Sama seperti Maya, saya juga udah ngikutin proses galaunya Galih selama berbulan-bulan. Jadi memang nggak nangis karena sudah sangat siap.

Lebih tepatnya, semenjak di kantor ini, saya sangat realistis sama yang namanya perpisahan. Setiap hari yang ada di pikiran, "Jangan terpaku sama satu perpisahan, karena akan ada perpisahan-perpisahan lainnya."

Namanya juga dunia kerja, kan.



Tapi ternyata manusia nggak sekuat itu. Pada dasarnya, manusia nggak pernah siap sama yang namanya perpisahan meski terbiasa.

Waktu itu bulan Februari 2018, tepat satu tahun bekerja, tepat satu tahun mengenal orang-orang baru. Sambil beres-beres kamar kos, sambil pegang sapu (WKWKWKWKW DITULIS BANGET),  saya nangis. Bener-bener nangis kenceng. Saya aja nggak inget kapan terakhir kali nangis sampai sesenggukan gitu.

Malam itu saya sedih banget tanpa ada alasan khusus. Ya memang sih waktu itu udah mengetahui kabar resign satu editor yang kerja sama saya dari awal. Saya pikir kabar resign terbaru saat itu kaya bom waktunya.

MEEEEN, TERNYATA SETELAH PERPISAHAN LOLITA SAMPAI GALIH, SAYA BELUM NANGIS.

Mungkin ini kesedihan-kesedihan yang ditumpuk-tumpuk. Pecah juga akhirnya kaya jerawat. Apalagi momennya pas satu tahun.

Kalau dihitung, saya udah kehilangan Lolita, Maya, dan Galih yang bener-bener deket banget.

Sedang Claudia kehilangan Dhika yang jadi temennya sejak kuliah hingga akhirnya sekantor bareng.

Ternyata ditinggalkan sangat nggak enak, apalagi berkali-kali.

Untuk itulah, sejak saya tahu Galih akan pergi, sejak Claudia akhirnya kehilangan Dhika di kantor, kami sudah membuat dinding tinggi.

Saya dan Claudia nggak mau terlalu dekat, karena kami nggak tahu apa yang terjadi ke depan. Saya dan Claudia nggak siap kehilangan. Lagi.

Waktu perpisahan Lolita, saya nulis surat dan saat itu terselip pikiran yang bikin saya sedih banget. Saya nggak nyangka Lolita ternyata cuma mampir beberapa bulan dalam skenario hidup saya. Tapi di sisi lain, saya merasa sangat bersyukur Lolita bisa mampir di kehidupan saya ini.

Begitu juga dengan teman-teman lainnya.

Kalau orang-orang bilang nanti bisa ketemu lagi, ya tentu saja. Yang saya garisbawahi adalah, ketika ada perpisahan, ya udah nggak ada dia lagi di hari-hari kita.

Saya paham banget konsep perpisahan dalam kehidupan ini. Tapi ternyata saya belum pernah melalui drama seperti satu tahun terakhir. Selama ini, dari TK sampai kuliah, perpisahan adalah saat di mana kami sekelas sama-sama meninggalkan dan ditinggalkan.

Bukan ada pihak yang meninggalkan, ada pihak yang ditinggalkan.

Di kantor sebelumnya, nggak terlalu banyak perpisahan dan memang saya belum punya banyak kenangan sama mereka. Jadi rasa perpisahan di kantor sekarang ini, benar-benar asing.



Terbaru, saya melepaskan Tintin pada akhir Maret 2018.

Kami akhirnya melambaikan tangan lagi, mengucap selamat tinggal lagi. Tanpa air mata.

Karena perpisahan saja sudah cukup menyakitkan, maka tak perlu ada air mata untuk merayakannya.

Saya nggak nyangka, perjalanan satu tahun ini benar-benar memberikan warna baru dalam kehidupan. Saya nggak nyangka kalau teman-teman baru pada akhirnya bagaikan senja yang biasa saya lihat di angkringan depan kantor. Datang dan pergi. Yang datang memberikan warna baru, yang pergi hanya menyisakan gelap kemudian.

WAGELAZEEEEH. Asik banget ya kalimat penutup saya. Berasa Cinta yang berduka ditinggal Rangga.


Comments