Skip to main content

Highlight

Lebih Sakit Meninggalkan atau Ditinggalkan?

Cinta dan Penolakan

Aku berjalan pelan namun langkahku lebar-lebar karena sedang berjalan denganmu yang lebih tinggi 30 cm dariku. Di bawah sinar lampu jalan yang teduh, aku terus menundukkan kepala dan menyembunyikan tangan dinginku di saku jaket warna hitam. Kamu juga bungkam, menunggu aku melontarkan kata terlebih dahulu. Tapi aku seperti gagu, padahal ada banyak sekali kata yang berdesakkan ingin dikeluarkan. Suara kendaraan mulai melemah, kukeluarkan tangan kiriku untuk memastikan waktu. Aku menyerah. Kutarik napas dan kuembuskan dengan menimbulkan suara.

"Jadi, kenapa datang tiba-tiba?"

"Karena sudah waktunya"

Aku menatapmu dengan susah payah karena harus mengangkat kepala lebih tinggi. Jawabanmu tenang sekali. sebagai perempuan, sesungguhnya aku sudah luluh di tempat.

"Tapi ini kaya nggak masuk akal. Kita cuma sempat ketemu satu kali, berkenalan dan sudah. Kamu pergi dan kita tidak pernah berkomunikasi pribadi kecuali mengetahui kabar melalui foto yang sama-sama kita upload di instagram."

Aku berhenti karena sadar sudah berbicara terlalu banyak. Air wajahmu tidak berubah, tetap tenang dan meneduhkan. Lagi-lagi harus kukatakan seharusnya aku sudah pingsan karena menatapmu.

Kamu tampan sekali. Ingatanku kembali pada dua tahun lalu sewaktu kita berkenalan saat bertemu di halte bus tempat perantauan. Waktu itu aku dan kamu terjebak hujan dan terlalu takut mengeluarkan handpone karena angin kencang mampu membawa air membasahi telepon genggam kita. Satu-satunya hal yang masuk akal adalah berbicara dengan manusia sesungguhnya. Hanya kita berdua di halte saat itu dan obrolan selama dua jam terasa singkat. Kita hanya sempat bertukar alamat Facebook. Sesudahnya kamu mengikuti Instagram-ku. Hanya sampai situ saja, tapi ketampanan dan hatimu sudah terekam melalui obrolan singkat kita. Sayangnya aku realistis, tidak jatuh cinta pada laki-laki yang tak pernah berkomunikasi apalagi tidak pernah berjumpa lagi meskipun ketampananmu menang.

Pada pada hari ke 550 setelah tiadanya pertemuan kita lagi, kamu menanyakan alamat rumahku melalui dunia maya dan mengatakan akan mampir jika sempat. Tapi ternyata kamu tidak hanya mampir.

Malam ini, 

Aku nyaris pingsan ketika pulang dari kantor dan melihat punggungmu. Sedang berbicara dengan kedua orang tuaku. Kamu melamarku.

"Di agama kita tidak mengenal pacaran, Ran," Kamu akhirnya angkat bicara.

"Aku tahu. Tapi bukan berarti aku langsung menikah. Menikah tidak sesederhana itu"

Ekspresi wajahmu bergeming, masih tenang di saat ekspresi wajahku sudah ratusan kali berganti.

"Menikah itu sesederhana kamu menerima dengan ikhlas kekurangan dan kelebihan pasanganmu Ran.."

"Tapi kalau setelah menikah ternyata ada yang nggak cocok?"

"Nggak cocok itu masuk kategori menerima dengan ikhlas kekurangan pasangan."

Aku menggigit bibir dan mataku melukiskan kebingungan.

"Aku tetap nggak bisa, Ren.. Aku nggak siap untuk segala ketidakcocokan kita jika sudah dibalut dalam pernikahan. Maafkan aku."

Kamu tertunduk, wajahmu terlihat berbesar hati.

"Nggak apa-apa, Ran... Aku tahu ini mengagetkanmu. Selama ini waktuku kugunakan untuk memperbaiki diri dan mempersiapkan masa depan bersama jodohku kelak. Lalu kujemput kamu yang mungkin saja jodohku. Tapi ternyata bukan. Maaf aku salah sangka, aku hanya berusaha saja karena Tuhan tidak memberikan petunjuk langsung tentang jodohku."

Kamu mengangguk dan tersenyum, lalu berjalan tegak meninggalkanku untuk pulang, kembali ke kotamu. Menyisakan aku yang sedang terdiam hebat, entah berpikir apa.

Comments