Skip to main content

Highlight

Lebih Sakit Meninggalkan atau Ditinggalkan?

Selamat Tahun Baru

www.ibtimes.com

Saya membuka kwetiau yang dibelikan mba Hindun saat perjalannya pulang ke kos-kosan. Malam itu hari Jumat, di mana kos-kosan menjadi sepi karena beberapa teman pulang kampung dan hanya menyisakan empat orang. Hari itu badan saya terasa lemas padahal tidak sedang sakit atau dalam keadaan lapar berat. Bungkus kwetiau itu saya buka dengan kurang bergairah, meminjam sendok milik Mba Hindun dan mulai makan perlahan. Saya tahu, saya sedang jenuh. Belakangan saya menjadi mudah bosan dengan aktifitas sendiri. Ada benarnya pepatah yang mengatakan hidup adalah tantangan. Jadi jika tidak ada tantangan, apakah tidak hidup? Entahlah, pikiran-pikiran tentang kehidupan berkecamuk di pikiran. Sampai akhirnya, saya membuka suara pada suapan ke lima.

“Mba, mau curhat..”

Mba Hindun adalah tipe orang yang perhatian dan peduli pada lingkungan maupun manusia di sekitarnya. Meski ukuran tubuhnya mungil, tidak bisa menyepelekan kedewasaan yang bisa ditempatkan sesuai porsinya. Maka saya memulai cerita bahwa saya sedang bingung dengan jalan hidup sendiri.

Sejak kuliah, saya merasa kosong. Padahal, jika diingat, saya adalah manusia yang selalu ambisius semasa sekolah. Tentu bukan untuk urusan nilai-nilai pelajaran, tetapi tentang hal yang saya impi-impikan. Semasa SD, saya bermimpi bersekolah di SMP N 1. Saat SMP, saya bermimpi bersekolah di SMA N 1. Lalu ketika di SMA, saya bermimpi kuliah di Universitas Gadjah Mada. Memang, dari semua mimpi-mimpi saya, tidak ada yang tercapai. Tuhan membelokkan mimpi saya ke tempat lain dengan alasan yang ada-ada saja. Tetapi tak sedikitpun saya mengeluh, karena saya menerima bukti bahwa tempat yang Tuhan pilihkan tidak pernah salah. Setidaknya, mempunyai cita-cita untuk dikejar membuat saya mempunyai kehidupan.

“Hai aku pulang.. Ada apa?”     

Ketika sedang bercerita kurang lebih 15 menit, mba Novia datang setelah pulang dari les bahasa inggris yang diikutinya untuk mengisi kegiatannya yang hanya mengerjakan skripsi. Untunglah Mba Novia pulang tepat waktu, karena saya belum sampai di puncak cerita. Meskipun Mba Novia lebih sering nampak cengengesan, saya tahu dia sedang merencanakan masa depan. Dan saya butuh dua orang kakak kos dengan pemikiran dan sudut pandang berbeda.

“Cita-cita tertinggi saya adalah kuliah di Jogja, dan itu sudah tercapai. Sekarang, saya merasa tidak punya cita-cita lagi.”

Mimpi dan cita-cita membuat saya hidup. Saya merasa ada sesuatu yang diinginkan untuk terus di kejar. Saya merasa memiliki alasan untuk terus berlari dengan jangka waktu istirahat yang singkat sekali. Dan tanpa mimpi serta cita-cita, kehidupan ternyata kosong. Seolah hidup hanya numpang tidur dan makan, mengikuti arus sampai tiba waktunya lulus, bekerja, menikah, memiliki anak, lalu mati. Tidak ada tujuan.

‘JADI, apa pertanyaan titik balik lo?’ tanya Mumun yang bernama asli Murni ketika kereta yang kami naiki bergerak meninggalkan Stasiun Napoli menuju Roma Termini. Kami berencana pulang ke Roma sore itu setelah gagal masuk ke Pompei, situs aerkologi kota kuno Romawi. Saya tercenung. Ada banyak pertanyaan di dalam hidup saya. Saya mengamini Socrates dalam pidato pembelaannya di pengadilan, ‘Hidup yang tak dipertanyakan adalah hidup yang tak layak dijalani.’ Persoalannya, di antara semua pertanyaan yang saya miliki, mana pertanyaan yang menjadi titik balik? Bukannya menjawab, saya malah bertanya ke si Ahli Biologi ini, ‘Apa batasan dari pertanyaan titik balik itu?’Mumun dan Vindhya—dua teman perjalanan saya—saling tatap. ‘Jadi begini, setiap orang pasti punya pertanyaan yang menjadi titik balik di dalam hidupnya.’ Mumun menjelaskan dengan sungguh-sungguh. ‘Biasanya jawaban dari pertanyaan ini akan mendorong seseorang melakukan sesuatu yang mengubah hidupnya.’ Kata Mumun, ini disebut dengan istilah ‘Saturn Return’. Masa yang mana seseorang memasuki babak atau fase baru di dalam hidupnya. Acap disebut sebagai titik balik kehidupan seseorang. (Dikutip dari tulisan Windy Ariestanty, cerita dari gerbong: satu pertanyaan dari pompei. Cek disini) 

“Apa mimpi dan cita-citamu di masa depan?”

Pertanyaan singkat yang memiliki waktu tak singkat untuk menjawabnya. Berbicara tentang cita-cita, ada banyak sekali pilihan di dalam otak saya. Sialnya, dari seluruh cita-cita itu, tidak ada satupun cara yang saya tahu untuk menggapainya. Lagipula, banyak sekali yang saya inginkan di masa datang, sehingga ragu-ragu untuk menyebutkan cita-cita dengan penuh keyakinan. Dan saya memang miskin, karena tidak penuh keyakinan. Kita tidak memiliki apa-apa jika tidak yakin, begitu kata sang tikus pada film Narnia.

Terkadang, kelemahan saya adalah tidak percaya diri dengan apa yang saya miliki di saat teman-teman yakin pada saya. Saya merasa tidak sehebat apa yang teman-teman katakan, hingga kepercayaan mereka hanya sempat saya dengarkan lalu buang karena merasa mereka terlalu tinggi menilai. Saya tidak menerima tantangan dengan resiko gagal. Saya terlalu malas dan terlalu muak. Saya memilih berada di zona nyaman, hidup dengan biasa-biasa saja dan merasa cukup. Bisa makan tiga kali sehari, tidur larut malam dan bangun saat matahari tepat di atas kepala, bisa pulang kampung dua minggu sekali, dan kenyamanan lain yang tidak mau saya lepaskan dengan alasan saya sudah melepaskan banyak hal.

Hakekatnya, kita hanya perlu berbagi. Setelah saling berbagi cerita dan nasehat selama berjam-jam bersama Mba Hindun dan Mba Novia, saya bergegas beranjak ke kamar. Menulis tulisan-tulisan motivasi di kertas lalu ditempelkan di dinding. Saya masih belum tahu apakah tulisan-tulisan itu akan berfungsi sebagaimana mestinya. Saya mempercayakannya pada waktu.

***

Berbicara tentang melepaskan banyak hal, tahun 2013 adalah titik puncak kehidupan saya. Selain akhirnya di bulan Agustus saya resmi berkepala dua, di tahun 2013 saya selesai dengan banyak hal yang ujung-ujungnya saya yang harus merasakan rela dan ikhlas. Cukup banyak peristiwa-peristiwa yang menemui puncaknya dan akhirnya selesai dengan air mata yang tak bisa dibilang sedikit. Tidak sedikit ‘move on-move on’ yang harus saya lakukan dengan sangat memaksa. Namun selalu ada akhir untuk segalanya dan 2013 sudah menemui waktunya untuk di gantikan 2014. Saya tidak membuat resolusi apa-apa beberapa hari sebelum kembang api diluncurkan di mana-mana. Bahkan, saya tidak memiliki harapan-harapan yang khusus untuk diserahkan pada Tuhan di 2014. Saya sedang mencoba menemukan ritme kehidupan kembali, mengisi kekosongan-kekosongan, menambal kekurangan-kekurangan dan memperbaiki apa yang masih bisa diperbaiki. Terpenting, saya harus segera menemukan jawaban untuk pertanyaan titik balik saya.

Selamat tahun baru,   
Semoga resolusi –resolusi yang diciptakan bukan hanya wacana yang mudah terkikis waktu dan harapan-harapan tidak hanya membuat kita duduk di depan jendela menanti keajaiban. 
Semoga mimpi-mimpi akan berubah menjadi cita-cita yang membuat kita bergerak sampai waktu sudah memiliki batas.

Comments