Skip to main content

Highlight

Lebih Sakit Meninggalkan atau Ditinggalkan?

Cerpen: Perempuan Pesisir Pantai

Picture from: http://tikamustofa.wordpress.com


Pantai ini begitu sepi. Selain letaknya yang sukar dijangkau masyarakat perkotaan, orang-orang di kampung halamanku sudah mulai jengah dengan pantai dengan suara ombak yang tak pernah berubah. Sayangnya, aku tidak pernah bosan. Sudah sejak kecil pantai ini seperti teras rumah, untuk duduk-duduk dan menyapa angin.

Suasana menjadi gelap. Mataku tertutup oleh kedua tangan yang ketika kusentuh, menawarkan kehangatan yang membara. Mudah saja, kusebutkan nama seorang laki-laki lalu ia melepas tangan dan memelukku dari belakang. Kami tidak saling berkata-kata dalam sepersekian detik, mengatakan kerinduan melalui sentuhan yang semakin erat.

“Aku merindukanmu..”

Julian membisikkan kalimat rindu tepat di telinga kananku yang langsung menuju hatiku. sudah sepuluh hari ia pergi, memotret banyak pemandangan yang dikehendaki. Ingin aku mengatakan betapa rindu masih menusuk-nusuk hati meski kini ia memelukku sampai tubuhku terasa sesak.

“Foto apa saja yang kamu dapat?”

Kami menjatuhkan diri di atas pasir, mengamati dan berkomentar tentang hasil tangkapannya melalui lensa. Aku selalu suka foto-foto Julian, segalanya tampak terasa hidup. Meskipun begitu, fotoku tidak pernah indah meski Julian adalah fotografer handal. Aku merasakan ada sesuatu yang kosong kala menatap fotoku sendiri tertangkap oleh lensanya.

“Hei, aku bawakan oleh-oleh.”

Julian bangun dari tidurnya, membongkar isi tas yang belum disimpan dalam kamar yang ditinggalkannya. Ia mengeluarkan amplop cokelat dan menyerahkan padaku sementara kebingungan tampak memenuhi wajahku.

Mataku dengan cepat berkaca-kaca, membongkar pertahananku dan air mata jatuh tetes demi tetes selagi aku terus berusaha menghapusnya. Amplop itu berisi puluhan foto-fotoku—yang entah bagaimana terasa begitu hidup. Foto-foto yang diambil secara rahasia namun terlihat natural. Tanpa mencari tahu namanya, aku sudah tahu siapa yang memiliki gaya memotret seperti itu. Dia adalah Dewata, fotografer yang singgah tiga tahun lalu selama satu bulan. Fotografer bertangan dingin yang selalu menyembunyikan wajah di balik kameranya. Memotret pantai ini bersama sekelompok teman-temannya sampai merasa cukup. Membuatku jatuh cinta dengan caranya mengamati ombak yang berkejar-kejaran lantas menangkapnya dengan cepat.


“Perempuan pesisir pantai.”



Suara Julian memecah ingatanku.

“Tema foto itu Perempuan pesisir pantai. Bahkan, sudah dua tahun bersamamu aku tak mampu menemukan kalimat yang tepat untuk menggambarkanmu.”


Garis-garis wajah Julian membentuk kesedihan. Aku segera memeluk Julian, meredam seluruh perasaannya yang hendak meluap, namun ia tak bergeming. Kali ini air mata kubiarkan berkejar-kejaran menetes membasahi pipiku.

“Aku tidak tahu apa hubunganmu dengannya. Namun yang kutangkap dari lensaku, foto itu begitu hidup. Aku tahu kalian terhubung melalui foto-foto itu.”

“Aku mencintaimu, Julian. Aku sangat mencintaimu.”

Meski pelukanku sudah sangat erat, Julian tak membalas. Ia tetap diam bagaikan patung, membuatku memukul-mukul dadanya agar dia berbicara. Aku sungguh tidak menyangka kalau Dewata memiliki perasaan terhadapku dan menyampaikannya lewat karya-karyanya. Aku memang menyimpan cinta, namun Dewata tak pernah menggubrisku. Entah berapa banyak salam yang kutitipkan lewat teman-temannya dan angin yang membelai wajahnya, tetap tak ada balasan. Sampai Dewata pulang, lalu angin-angin di pantai itu bertiup dengan hampa.

“Renata, aku mencintaimu. Sejak aku datang di pantai ini dan luasnya tak akan kalah oleh luas lautan ini..”

Julian mengarahkan tangannya pada lautan yang membentang di hadapan kami.

“Aku tidak ingin ikut campur tentang hubungan kalian entah di masa yang mana. Aku hanya ingin tahu satu hal.. Kamu mencintainya? Kamu mencintai laki-laki yang bernama Dewata ini?”

Pertanyaan itu menghantamku. Aku mencintai Julian. Tetapi Dewata, laki-laki bercahaya yang membuatku hidup. Aku tidak menyangkal kerap memikirkannya, namun keberadaannya yang tak tahu dimana membuat hatiku terhenti. Aku bertindak realistis dan Julian datang di saat yang tak terlambat. Aku jatuh pada Julian, namun di sisi lain aku terperangkap dalam pelukan Dewata.

“Renata, kamu mencintaiku?”

Aku mengangguk berkali-kali dengan yakin.

“Lalu, kamu mencintainya?”

Kali ini aku hanya terus menunduk dan air mataku berlinang di pasir.

“Aku harus pergi, Renata. Aku masih harus memotret. Dewata dan teman-temannya adalah kelompok perjalananku. Kami tak sengaja bertemu dan memutuskan memotret bersama. Aku meminta izin pulang ketika mendapati foto-fotomu yang tak sengaja jatuh dari tas Dewata. Aku hanya ingin memastikan, kamu mencintaiku dengan baik.”

Julian mengepak kembali barang-barangnya dan bergegas berdiri. Tanganku lantas meraih jemarinya untuk mengatakan jangan pergi. Julian hanya membelai rambutku perlahan dan mencium keningku.

“Aku masih harus melanjutkan perjalanan, Re. Selama aku pergi, cari tahu hatimu. Potret apa saja di dalam hatimu dan jika kamu menemukan sesuatu yang hidup dari hasil tangkapanmu, bicaralah. Padaku atau pada Dewata.”

Lalu, punggung yang menjauh itu tak pernah berbalik, sampai menghilang tak terjamah lagi.

Comments