Skip to main content

Highlight

Lebih Sakit Meninggalkan atau Ditinggalkan?

Kisah Tentang Langit dan Awan


Aku mempunyai dua sahabat laki-laki sejak kecil bernama Langit dan Awan. Mereka adalah kakak adik yang usianya terpaut dua tahun. Meskipun seumuran dengan Awan, sejatinya aku lebih akrab dengan Langit karena dia kerap menjagaku saat masih kecil. Awan sedikit lebih pendiam, aku menebak ia minder dengan Langit yang begitu bersinar. Langit sosok manusia yang mudah dicintai, tak terkecuali olehku.

Kami tinggal di pesisir pantai yang begitu biru. Tempat tinggal kami hanya terpisah dua rumah sehingga memudahkan akses dalam bermain. Setiap petang menjelang, Langit dan Awan akan berteriak memanggil namaku di depan rumah dan aku akan berlari menyambut dengan senyum mengembang. Oh iya, namaku Matahari.

Sore ini kami bertiga sudah menyusuri pantai. Bermain pasir, mengumpulkan kerang atau sekadar mengejar ombak. Kata tetangga-tetangga, Langit, Awan dan Matahari adalah perpaduan yang sempurna. Dan kami senang-senang saja kalimat itu.

Seperti biasa Awan hanya menunduk sendiri mengumpulkan kerang sedangkan Langit berusaha melemparkan aku pada ombak yang mulai tinggi. Aku pura-pura menangis ketika Langit akan melemparkanku ke tengah laut, maka ia menggendongku ke tepian bersama Awan.

“Sudah, jangan menangis. Anak perempuan jangan cengeng..”

Aku memasang wajah cemberut lalu Langit mengelus kepalaku dan menjatuhkan diri di sebelahku.

“Kalian pernah bayangin nggak, suatu saat kita bakal bosan sama pantai ini?”

Awan menoleh pada Langit, seketika aktivitas mencari kerangnya terhenti. Garis-garis di wajahnya menandakan ia sedang berpikir keras.

“Aku sudah hidup di sini 17 tahun. Mungkin setelah lulus aku akan ke kota. Mau kuliah sambil kerja di sana.”

“Kamu bosan di sini?,” Awan melempar kerang-kerang di tangannya.

Sedangkan aku? Hanya bergidik membayangkan jawaban Langit, bahwa ia benar-benar bosan.

“Aku tidak bosan. Tempat ini sangat nyaman, terlalu nyaman. Aku pengen keluar dari kotak nyaman aku. Pergi melihat hal-hal baru. Wan, kalau sudah saatnya, kamu akan berpikiran sama kaya aku.”

Angin meniup rambut Langit yang sudah mulai gondrong. Langit tidak bohong. Setelah lulus, ia pergi merantau. Aku bertanya-tanya adakah yang akan mengingatkannya untuk memotong rambutnya? Biasanya, aku yang melakukan hal itu.

***
Dua tahun kemudian..

Bagaimana matahari dan awan akan hidup tanpa langit? Aku tidak pernah membayangkan menikmati pantai hanya berdua dengan Awan sejauh ini. Tetapi kami masih baik-baik saja, walau sesekali merindukan Langit.

Awan lebih ceria sejak Langit pergi. Mungkin dia sedang menghibur dirinya, tetapi aku curiga dia hanya menghiburku. Aku memang menangis cukup banyak kala itu, tetapi Awan selalu membentuk senyum yang tak sanggup kukhianati dengan kesedihan. Aku pernah bertanya apakah Awan akan keluar dari kotak nyamannya seperti Langit, tetapi Awan menggeleng lalu pura-pura sibuk.

Matahari bersiap-siap pulang ke peraduan, aku dan Awan hanya duduk memandangi nelayan-nelayan yang notabene penduduk setempat disinari sinar matahari.

“Kebiasaan yang tidak berubah, ya?”

Aku dan Awan saling pandang dengan wajah setengah mati kebingungan. Kami mendongakkan kepala segera dan menemukan Langit berdiri di belakang. Tanpa aba-aba, kami berhamburan memeluk Langit. Langit pulang, setelah belasan bulan meninggalkan kami.

Aku menyandarkan kepala di pundaknya, meletakkan segala kerinduan di sana. mendengarkan cerita-ceritanya selama di kota. Ah, cara Langit bercerita selalu menyenangkan. Setelah sekian lama masih selalu memesona ketika bercerita.

Pantai sudah gelap, kami bergegas pulang dan aku berjanji akan memasakkan makanan yang enak selagi Langit mandi. Suara ombak terdengar lebih merdu malam ini.

“Ara udah punya pacar?”

Tiba-tiba Langit menghentikan langkah dan menatap ke arahku tajam. Dadaku bergemuruh. Aku melengkungkan bibir membentuk senyum terbaik lalu mengangguk mantap. Langit hanya tersenyum penuh misteri lalu melanjutkan langkah tanpa menoleh ke arahku. Aku lalu tersenyum menatap awan yang mengulurkan tangan mengajakku meneruskan perjalanan pulang. Aku tidak akan pernah lupa pada hari di mana aku bertanya apakah Awan tidak ingin keluar dari kotak nyamannya menyusul Langit. Hari itu Awan berkata tidak akan pergi dari kotak nyamannya, dari aku. Awan akan selamanya mengelilingi matahari, di mana saja. Bahkan walau bukan di langit sekalipun.

Tapi, tidak ada yang tahu. Jauh di dalam hati aku adalah pemuja Langit. Aku tidak pernah memberi tahu siapapun aku jatuh cinta pada laki-laki yang jarang mandi karena terlalu bosan melihat air. Memori-memori tentangnya aku simpan dalam kotak di hati.

Terkadang, ada seseorang yang cukup disimpan di dalam hati, entah nama atau segala kenangan tentangnya hanya ingin disimpan sendiri. Bukan karena cinta itu tak nyata, melainkan seseorang itu terlalu spesial untuk dibagikan kepada orang lain.

Aku menggenggam erat tangan Awan, lantas menyusul Langit yang berjalan cepat menuju rumah sembari meledek kami yang lambat. Aku memandangi Awan. Tanpa awan, langit hanyalah biru. Awan adalah pemanis langit, maka awan tidak dapat disingkirkan keindahannya. Aku tidak pernah salah memuja Langit, pun tidak salah karena mengagumi Awan.

Comments