Skip to main content

Highlight

Lebih Sakit Meninggalkan atau Ditinggalkan?

Solo City Walk







Saya bangun kesiangan dengan 12 panggilan tidak terjawab dari Tondo dan Ain. Sesuai jadwal yang terdapat di internet, kereta prameks menuju Solo berangkat pukul 06.45. Lantas saya bergegas dan dalam waktu 30 menit Tondo sudah menjemput lalu kami menuju ke Stasiun. Tondo menunggu di tepi jalan sementara saya pergi untuk cek jadwal prameks yang Alhamdulillah ternyata Ain sudah di sana. Maka saya menyuruh Ain untuk antri dan saya berlari menyuruh Tondo memarkir motornya. Saya bergegas menyusul Ain yang tepat sudah berada di loket dan tiket sedang dicetak.

"Udah pesen?" Tanyaku terengah-engah.
"Udah! Ke Kutoarjo kan?" Mata Ain berbinar-binar sementara saya hanya terpaku beberapa saat.
"Solo! Bukan Kutoarjo!" Saya berteriak dan beruntung tiket masih bisa ditukar. Aini bener-bener bahaya, untung dia nggak nyasarin kita ke Zimbabwe.

Ternyata jadwal kereta adalah pukul 08.15, kami kebingungan hendak menuju ke mana sembari menunggu kereta. Akhirnya kami masuk ke dalam stasiun lantas memutuskan menunggu sambil bercerita panjang lebar. Panjang lebar di sini ya maksudnya saling ngata-ngatain. Ckck. Kereta Sriwedari yang dinanti-nanti tiba dan kami mencari tempat duduk sampai ke gerbong depan. Setelah satu jam perjalanan, sampailah kami di Stasiun Purwosari.

Kami tidak punya tujuan. Sebenarnya saya, Ain dan Tondo hanya ingin meluangkan waktu lebih bersama-sama maka kami putuskan untuk berjalan di sepanjang city walk. Masih terlalu pagi dan suasana masih sepi, namun sudah banyak pedagang makanan di sepanjang jalan. Tempat pertama yang kami datangi adalah Solo Grand Mall dan hanya berniat mampir ke toilet. Perlu memutari lantai dua sampai kami menemukan di mana toilet berada dan memutari lantai dua sekali lagi untuk mencari pintu keluar. Ya, otak kami bertiga memang gesrek untuk digunakan untuk berpikir apalagi mencari jalan. Kami hanya terus berjalan sambil mengoceh panjang lebar dan perut mulai keroncongan.

"Ada bakso bakar, beli yuk.."
"Jauh-jauh ke Solo beli bakso bakar?" Protes Ain.
Ujung-ujungnya, kami memborong bakso bakar.



Kami berhenti untuk beristirahat di Taman Sriwedari setelah Tondo meraung-raung minta makan. Kami membawa bekal. Tepatnya, kami merampok Ain, menyuruhnya menyiapkan bekal untuk kami. Satu minggu sebelum ke Solo, kami berkunjung ke rumah Ain untuk menyerahkan tempat makan. The power of anak kos: nggak tahu malu.

Maka, dengan mengacuhkan rasa malu karena orang-orang yang berlalu lalang melihat kami dengan tatapan aneh, kami berpura-pura bahwa dunia hanya milik bertiga. Setelah makan, kami membuka sesi curhat sampai-sampai Tondo merasa lapar kembali karena terlalu banyak bicara. Sebelum Tondo meminta makan lagi, saya dan Ain menyeretnya untuk meneruskan perjalanan. Kami masuk menuju Gramedia yang ada di sekitar situ. Tempatnya unik, dari luar tidak ada yang menyangka itu adalah Gramedia karena bentuknya rumah Jawa. Kami menghabiskan waktu cukup lama di Gramedia untuk membaca buku Generasi 90-an, tanpa malu-malu memecah keheningan dengan tawa dan menghabiskan satu buku. Kan. Nggak punya malu.

Membagi jatah makan siang




Gramedia!

Hari sudah semakin siang dan kami memutuskan untuk mencari masjid terlebih dahulu. Kami menemukan papan petunjuk menuju masjid maka kami masuk sebuah gang dan masjid tidak kunjung ditemukan. Matahari tepat di atas kepala dan kami kelelahan mencari masjid yang ternyata cukup jauh masuk ke dalam gang. Setelah sholat, kami tidur-tiduran terlebih dahulu. Energi sudah semakin habis ditambah matahari menusuk-nusuk tidak karuan. Dengan sisa-sisa energi, kami membeli serabi Solo lalu mencari tempat duduk serta minuman dingin sampai kami menemukan sebuah warung jus. Penjual jusnya adalah seorang ibu yang ramah dan terus tertawa dengan tingkah kami.

"Ayo hitung-hitungan." Tondo mulai berteriak selesai meneguk jus melonnya hingga habis. Setelah membayar jus, kami mulai mengingat-ingat hutang.
"Enz. Berarti aku kurang 2000 ke kamu." Kataku.
"Heh, aku tho yang kurang 2000 ke kamu?"
"Loh ya aku dong."
"Aku."

Saya dan Ain terus ribut sampai Tondo hanya geleng-geleng kebingungan.
"Yo aku dong Enz. Koe cah ekonomi udu e?" Saya berteriak tanpa sadar, lalu seorang bapak-bapak yang hendak minum sampai tertawa melihat tingkah kami.
"Dasar anak-anak.." Ibu penjual jus tertawa melihat tingkah kami.

Anak-anak katanya... 

*bercucuran air mata*

Setelah perdebatan panjang dan Ain mengakui kesalahannya, kami mulai berebut serabi solo yang terbengkalai sejak tadi.

"Loh, kok akrab?"

Tiba-tiba ada seorang ibu yang hendak membeli jus bertanya hal itu membuat kami terpaku untuk beberapa saat.

"Ya kan temen bu.." Ain menjawab dengan nada keheranan.

"Oh.. Cuma temen." Ibu itu kemudian bertanya tentang asal-usul kami.

Ini maksudnya apa ya, saya nggak paham lagi dengan pertanyaan dan reaksi si Ibu.






Sedang asyik makan serabi, terdengar suara klakson kereta dan kami menghambur ke tepi jalan untuk melihat kereta di city walk. Cukup kampungan tapi kami senang. Ya nyatanya emang kampungan mau gimana lagi dong ya. Minuman sudah habis. Energi tidak kunjung terisi. Dan entah bagaimana, ibu penjual jus hilang entah kemana meninggalkan gerobaknya dan kami. Kami kebingungan. Haruskah pergi dengan tidak sopan dan meninggalkan gerobak tanpa mengucapkan salam perpisahan pada ibu jus? Tetapi kami mengejar kereta.

Maka kami pergi meninggalkan gerobak jus dan memutuskan mencari becak. Kami menaiki 1 becak untuk bertiga dan tukang becaknya mengantar kami sampai tepat di depan pintu Stasiun Solo Balapan. Cukup memalukan karena terdapat banyak orang di sana, saya pengen kabur aja ke bandara naik pesawat ke Jogja tapi inget nggak punya duit. Stasiun Solo Balapan mengingatkan bahwa petualangan dan kebersamaan kami harus berakhir. Kali ini tidak perlu menunggu lama karena waktu kedatangan kami tepat dengan kereta prameks. Meski sudah tidak ada energi lebih, kami masih sibuk bercanda di kereta yang mengantarkan kami kembali. Eh bukan bercanda. Tapi saling ngata-ngatain.

Kereta di sepanjang city walk


Solo, 5 Oktober 2013.

Comments