Skip to main content

Highlight

Lebih Sakit Meninggalkan atau Ditinggalkan?

Pindah Part 2: Meninggalkan Rumah

 "Semua yang hilang kita cari di sini..."

Januari 2022, saya sedang menyelesaikan novel Rapijali bagian tiga di perjalanan menuju Jakarta dalam rangka dinas luar kota. Di dalam kereta, saya pun memutar soundtrack novel Rapijali 'Rumah yang Baru' dan bertanya-tanya kapan punya rumah yang baru setelah berada di satu tempat dalam waktu yang sangat lama.

Di pertengahan tahun 2022, saya semakin menyadari bahwa ada banyak sekali yang hilang dalam diri saya: Motivasi, ambisi, dan keinginan-keinginan. Saya pergi ke berbagai tempat untuk mencari apa yang hilang. Saya penasaran untuk menemukan apa yang hilang.

Sampai akhirnya saya merelakan kalau rumah itu nggak harus baru, tapi diperbaharui.

Tapi siapa sangka di perjalanan memperbaharui rumah lama, saya mendapatkan kesempatan untuk pindah kota selama tiga bulan.

Perjalanan mencari apa yang hilang pun dimulai, dan ternyata perjalanan itu tidak membawa saya kembali.

"Saya nggak kepikiran menetap di kota baru lagi..."

Kalimat itu saya ucapkan ke atasan, dan memang benar saya nggak kepikiran menetap di kota baru lagi walau sering ada pertanyaan, "Sampai kapan ya saya tinggal di sini?" entah karena penasaran atau kadang sudah terlalu muak.

Baca: Pindah Part 1


Saya sudah merantau sejak umur 18 tahun dengan mengarungi dua kota, satu di antaranya saya habiskan waktu selama lebih dari 10 tahun. Tentu saja 10 tahun itu membuat saya meng-klaim bahwa kota yang saya tinggali adalah rumah kedua setelah kampung halaman.

Iya, Jogja adalah rumah saya.

Jadi, kepindahan saya ke Jakarta tidak memengaruhi apapun. Terlebih, pindah kota tapi masih ada di kantor yang sama itu rasanya seperti hidup di antara. Di tengah-tengah, yang membuat saya pun bingung mendefinisikan perasaan sendiri.

Sewaktu perpisahan, rasanya sedih tapi kan saya nggak resign. Pekerjaan saya masih tetap terhubung dengan rekan-rekan di kantor sebelumnya. Saya masih terkoneksi dan berkomunikasi dengan mereka lewat pekerjaan. 'Rumah' saya masih ada, 'rumah' saya masih di Jogja.


Tapi ketika mengingat teman-teman di luar kantor, saya baru sadar nggak terkoneksi dengan mereka seperti teman-teman di kantor. Secara praktik, saya benar-benar meninggalkan mereka dan nggak tau kapan ketemu lagi. Bisa jadi setengah tahun sekali. bisa jadi satu tahun sekali, bisa jadi dalam waktu yang sangat lama.

Momen itulah yang menyadarkan kalau sudah benar-benar pergi dari rumah saya. Jarak Jakarta - Jogja memang tidak perlu didramatisir, tapi menyadari kalau saya nggak akan bertemu teman-teman dalam waktu lama adalah jenis perasaan yang berbeda.

Hidup saya yang berjalan normal-normal saja tiba-tiba berbelok arah, jauh dari apa yang dibayangkan dan di saat saya jauh dari kata siap.

Sesampainya di rumah yang baru, saya nangis sejadi-jadinya. Sesederhana saya ingat sudah tidak punya kos-kosan di Jogja yang artinya saya nggak punya rumah secara bangunan.

Iya, saya nangis cuma karena saya inget nggak punya rumah dalam bentuk kos-kosan di sana. Rasanya nggak ada tempat kembali kalau saya ke Jogja lagi. Rasanya kaya...... asing. Aneh, ya?

Ternyata, bagian sedih lainnya dari kepindahan ini adalah menyadari kota yang saya anggap rumah sekarang bukan rumah saya lagi.


Comments