Skip to main content

Highlight

Lebih Sakit Meninggalkan atau Ditinggalkan?

Converse Hitam yang Kamu Seret ke Arahku

Source: Pixabay.com

Langit siang itu berwarna biru, ditemani awan yang tampak ramai seolah sedang merayakan sesuatu. Di bawah rindangnya pohon aku duduk menikmati semesta. Angin lembut berkali-kali menabrak tubuhku, membuatku berulang kali harus menyingkirkan rambut yang menutupi wajah. Dan saat aku menyingkirkan rambut yang menutupi wajah untuk kelima kalinya, aku melihatmu di ujung jalan. Senyummu sudah mengembang ke arahku dan langkah kakimu menujuku.

Entah mengapa aku terdiam, pasrah menunggumu datang ke sisiku. Converse warna hitammu yang sudah mulai pudar itu menyita perhatianku. Selalu, kamu berjalan dengan menyeret kaki dengan sisa-sisa tenaga. Aku penasaran bagaimana senyummu selalu mengembang tapi langkah kakimu terlihat tidak berdaya.

"Ah sial," ucapku dalam hati.

Kamu sudah berdiri di depanku sementara aku menatapmu dengan tatapan kosong.

"Apa kabar?," tanya pertamamu hari itu dan hari-hari sebelumnya.

Aku tersadar dan hanya mengangguk menginsyaratkan kondisiku. Saat itu aku menyadari bahwa senyummu indah, menyatu dengan semesta yang kukagumi. Saking terpananya, tak sadar aku menatapmu yang mengambil posisi duduk tepat di sebelahku. Hari itu ritme jantungku entah mengapa terasa aneh. Padahal kamu tidak berbicara lagi dan sibuk dengan duniamu. Kamu menyandarkan tubuh di dua tangan yang disandarkan di belakang, tersenyum menatap langit-- sama seperti yang kulakukan beberapa menit lalu.

"Langitnya bagus buat piknik," katamu tanpa mengalihkan pandangan ke arahku.

"Ke pantai pasti indah," jawabku sambil ikut menatap langit lagi.

"Sekali-kali ke gunung lah..."

Akhirnya kamu melepaskan pandangan dari langit, menatapku. Selama beberapa detik aku dan kamu hanya sambil bertatapan, sibuk dengan pertanyaan masing-masing.

Aku tersesat, apakah kalimatmu adalah ajakan atau sekadar celetukan. Tapi aku segera sadar matamu menjelaskan semuanya. Lalu ritme jantungku semakin tak beraturan.



Dinding pertahanan runtuh juga. Uluran tanganmu beberapa waktu lalu, senyum-senyum yang kamu beri akhirnya membuatku takluk.

Selama ini diam-diam aku selalu terpana tiap kali melihatmu memakai kemeja biru muda yang dipadukan celana berwana hitam. Tak lupa, converse warna hitam yang selalu kamu arahkan menuju aku. Dan hari itu, kamu bersama langit yang biru membuatku lupa kalau aku masih merasakan patah hati yang sangat dalam.

"Aku pengen sembuh," katamu.

Aku diam, tak menanggapi apapun. Sejujurnya aku bingung. Sebenarnya selalu sulit bagiku, berada di dekatmu.

"Sama kamu," lanjutmu.

Serasa pedang menghunus jantung, aku tak bisa berkata-kata. Teringat 120 hari lalu ketika kamu mengulurkan tangan padaku, sebuah hal yang tak pernah kamu lakukan sejak kita saling mengenal selama dua tahun. Kamu dengan duniamu, aku tak peduli padamu. Sampai akhirnya kamu menemukanku terluka sendirian. Berusaha menyembuhkanku, sementara kamu pun sedang terluka.

Selama ini tidak pernah kusampaikan, kalau kata-kata penyemangatmu seakan menjadi pijakanku menatap hari esok. Semakin aku menyangkal semakin tumbuh keinginan untuk ditemani olehmu.

Ya, cinta memang selalu begitu, tiba-tiba menyusup ke hati. Perlahan tumbuh semakin kuat meski tak ada yang merawat.

Aku pun tersenyum, tanpa jawaban atau pernyataan menanggapi kata-katamu. Sulit mengakui cinta, tapi sejujurnya hatiku jatuh.

"Silakan masuk, ayo kita lihat apa yang terjadi ke depannya," ucapku dalam hati.

Kamu membalas senyumku, bahkan kusebut itu tawa. Tanpa ada kata-kata dari mulutku, aku senang kamu mengerti dan meraih tanganku.

Terima kasih sudah menemani. Terima kasih sudah selalu menanyakan kabar, memastikan keadaanku.

Comments