Skip to main content

Highlight

Lebih Sakit Meninggalkan atau Ditinggalkan?

Pagi Itu, Tepat sebelum Matahari Terbit



Waktu menunjukkan pukul 03.16, dini hari itu stasiun terbilang sepi. Tak banyak penumpang yang sibuk menghitung waktu, menanti kereta yang akan membawa ke tujuan masing-masing. Tas jinjing berwarna pink yang kugenggam erat sejak dari rumah akhirnya kuletakkan di kursi. Aku menoleh menatap jam yang ada di sisi kanan, sepuluh menit lagi harusnya keretaku tiba. Perlahan kuhirup udara pagi yang belum tercemar apapun; Asap knalpot, rindu, atau harapan banyak orang. Suara petugas lantas mengagetkanku, ternyata keretaku terlambat sepuluh menit. Entah mengapa aku tak menggerutu. Aku menikmati momen ini. Aku jatuh cinta lagi pada kesunyian. Sampai akhirnya alunan lagu khas stasiun menyambut kedatangan keretaku.

Aku berdiri, tak tergesa-gesa berjalan menuju jalur tiga. Mengira-ngira di mana kiranya gerbong lima akan berhenti. Kali ini perhitunganku tepat, pintu masuk gerbong lima hanya berjarak lima langkah dari tempatku berdiri.

Ah, sial. Seharusnya aku tak boleh bangga dulu. Kursi nomor 22 ternyata ada di ujung gerbong. Pelan-pelan aku melangkah, khawatir tas jinjingku mengenai tubuh beberapa penumpang yang tengah pulas tertidur. Perjalanan panjang menuju ujung berakhir di sebelah seorang pria yang sama sekali tak kupedulikan. Tujuanku hanya satu: Duduk dan segera memejam.

Sayangnya tidurku tak nyenyak, badan terasa pegal karena kegiatan dua hari terakhir. Setelah cukup lama mencari posisi ternyaman, aku memutuskan mengarahkan kepala ke sebelah kiri. Sebenarnya itu juga bukan posisi terbaik. Semut yang tengah lewat pun pasti setuju dengan pendapatku. Tapi aku bertahan hingga 120 menit kemudian, kereta berhenti. 



Sejujurnya aku tak sepenuhnya terlelap.

Lengan kiriku terasa ditepuk dua kali. Kubuka mata perlahan, dalam keadaan setengah sadar.

Ada wajah yang disinari cahaya. Tersenyum.

"Mba, duduknya pindah ke sebelah aja."

Masih tak begitu sadar, tubuhku hanya mengikuti tangan yang menunjuk ke arah pojok. Di sana aku bisa bersandar dan tidur lebih nyaman.

Usai menyandarkan kepala ke jendela, saat itulah mataku baru sepenuhnya terbuka.

Tadi bukan malaikat, ternyata hanya seorang laki-laki baik hati yang semula tak kupedulikan.

Kemudian kereta yang melanjutkan perjalanan seolah membawaku menuju kebahagiaan.

Dan suara Tulus seolah memenuhi gerbong kereta pagi itu.

"Jebak aku dalam labirinmu...
Tersesatku di adiwarnamu, pesonamu.."

Comments